Oleh : Dwi Puspitasari dan Gerry Katon Mahendra – Universitas Aisyiyah Yogyakarta
Sumber: Kompasiana.com tanggal 16 Juli 2021
Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan indikator yang sangat penting untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu negara. Setiap negara maju maupun berkembang akan berusaha keras untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal dan menurunkan angka kemiskinan. Di banyak negara di dunia syarat utama terciptanya penurunan kemiskinan adalah dengan pertumbuhan ekonomi. Namun, situasi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia pertumbuhan ekonomi yang dicapai ternyata juga diiringi dengan munculnya permasalahan meningkatnya jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Berdasarkan grafik diatas Ekonomi Indonesia dalam empat tahun terakhir tumbuh cukup stabil di kisaran 5% meskipun dibayangi ketidakpastian global. Ekonomi nasional sempat mengalami perlambatan di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla, yakni hanya tumbuh 4,88% pada 2015 dampak dari pemangkasan subsidi energi yang dianggap salah sasaran. Namun, pada tahun berikutnya kembali tumbuh di atas 5%. Kondisi makro ekonomi yang dikelola dengan baik serta hati-hati dan terus menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya. Tercermin dari turunnya angka pengangguran ke 5,13% pada Februari 2018 dari 5,94% pada Agustus 2014. Angka kemiskinan juga turun menjadi 9,82% dari 10,96% serta ketimpangan penduduk juga turun menjadi 0,389 dari 0,414 posisi akhir 2014.(http://databoks.katadata.co.id).
Daerah Istimewa setingkat provinsi di Indonesia yang merupakan peleburan Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara Kadipaten Paku Alaman. Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di bagian selatan Pulau Jawa, dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia. Daerah Istimewa yang memiliki luas 3.185,80 km2 ini terdiri atas satu kota, dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78 kapanewon/kemantren, dan 438 kalurahan/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2019 memiliki populasi 3.842.932.(https://yogyakarta.bps.go.id). Berdasarkan grafik diatas pertumbuhan ekonomi di Daerah Istimewa Yogyakarta dari tahun ke tahun semakin meningkat. Walaupun dalam tahun 2014 perekonomian sempat turun tetapi dari tahun 2015 sampai 2018 perekonomian di DIY cenderung naik di kisaran 5% sampai 6%. Dapat disimpulkan bahwa perekonmian DIY dari tahun ke tahun semakin membaik juga didukung oleh terjaganya stabilitas keuangan daerah di DIY.
Upaya dan Inovasi Kulonprogo
Kulon Progo merupakan Kabupaten di DIY yang menduduki peringkat dua terakhir dalam kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada tahun 2013 mencapai 70,14, terendah setelah Kabupaten Gunung Kidul dengan IPM mencapai 71,64 (https://ipm.bps.go.id/data/provinsi/metode/baru/3400). Namun, dibalik hal tersebut ternyata Kabupaten Kulon Progo memiliki banyak potensi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat lokal. Beberapa program penanggulangan kemiskinan yang terlaksana di Kabupaten Kulon Progo sudah sesuai dengan RPJMD tetapi program tersebut belum mampu menekan angka kemiskinan yang masih tinggi. Namun, beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi kabupaten ini mengalami peningkatan tajam tidak lepas dari adanya berbagai pembangunan dan dua kebijakan program nasional yakni pembangunan YIA serta penetapan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Borobudur. Pembangunan Yogyakarta International Airport atau Bandara Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) mampu mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kulonprogo. Jika pada 2017 pertumbuhan ekonomi kabupaten ini hanya 5,97 persen maka pada 2018 laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 2010 menurut lapangan usaha, meroket menjadi 10,84 persen.(https://www.krjogja.com).
Selain memanfaatkan dua mega proyek tersebut, pemerintah kabupaten juga terus menggelorakan semangat Bela Beli Kulonprogo. Gerakan “Bela-Beli Kulon Progo” sebagai bentuk usaha penanggulangan kemiskinan yang melibatkan partisipasi masyarakat. Bela Beli Kulon Progo dicanangkan pada tanggal 25 Maret tahun 2013 oleh Hasto Wardoyo selaku Bupati Kulon Progo, dan dipimpin oleh Heppy Trenggono dalam suatu ikrar gerakan di Alun-Alun Wates. Diikuti oleh jajaran pemerintah, kepala desa dan perwakilan kelompok masyarakat, juga kalangan DPRD, bahkan ribuan anak sekolah turut meramaikan ikrar tersebut dengan memakai seragam “Gebleg Renteng”. Ikrar gerakan Bela Beli Kulon Progo semangatnya adalah merebut pasar di negeri sendiri. Untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dari sisi teknologi dan infrastruktur Kulon Progo masih tertinggal jauh dengan daerah lain.
Beberapa langkah yang sudah dilaksanakan di Kulon Progo melalui gerakan Bela Beli Kulon Progo. Pertama, diberlakukannya setiap pegawai negeri sipil (PNS) membeli beras petani lokal melalui kelompok tani (Gapoktan). Selain itu, adanya kebijakan untuk Raskin di Kulon Progo diubah menjadi Rasda yang memakai beras asli daerah setempat melalui kerjasama antara kelompok tani (Gapoktan) dengan pihak Bulog setempat. Kedua,Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) memproduksi air mineral dalam kemasan sendiri yang dinamai “AirKu”. Ketiga, diadakannya lomba batik khusus yang akan menjadi ciri khas daerah Kulon Progo sehingga telah merubah suasana batik Kulon Progo dan menjadi cikal bakal lahirnya Batik “Gebleg Renteng” yang menjadikan semua seragam dari anak TK-SMA/SMK, pegawai negeri sipil (PNS) beserta jajarannya memakai baju batik “Gebleg Renteng”sebagai ciri khas Kulon Progo. Keempat, himbauan kepada para mitra kerja, pemborong bangunan dan warga masyarakat untuk membeli bahan bangunan produk lokal seperti batu bata, genting,batako, dan kayu yang ada di Kulon Progo.Kelima, kebijakan penggunaan batu andesit produk lokal untuk pembangunan yang dikerjakan melalui APBD maupun APBN.
Batu yang semula hanya diproduksi untuk bahan campuran pengerasan jalan dan pengaspalan, kini telah dikembangkan menjadi pavingyang bisa untuk mengganti conblock jalan-jalan kota yang rusak dan dapat untuk mengganti keramik dan marmer. Keenam, pendirian bengkel mobil dan motor oleh BUMD kabupaten guna untuk pelayanan seluruh kendaraan dinas se-kabupaten. Ketujuh,ketika salah satu BUMN mengadakan kebijakan paket sembako murah ke daerah-daerah, maka isi sembako tersebut yang masuk ke Kulon Progo harus dibeli di lokal (produk setempat). Kedelapan, pemerintah daerahmenghimbau untuk rekanan atau penyedia barang dan jasa proyek yang dibiayai oleh APBD Kulon Progo agar menggunakan batu andesit asal Kulon Progo untuk bahan campuran bangunan, pondasi kereta api, bahan campuran beton, bahan conblock trotoar, bahan perkerasan jalan, ornamentasi, dan lain-lain. Kesembilan,penguatan koperasi dan UMKM bermitra dengan toko berjejaring modern dengan melakukan akuisisi usaha ekonomi yang saling menguntungkan.Kesepuluh,gerakan Bela-Beli Kulon Progo tidak hanya pada aspek produk komoditas, namun juga dengan membangun karakter bagi anak-anak sekolah sejak usia dini.(Wardoyo, 2016).
Pola pemberdayaan dan pembangunan daerah yang dimulai dari hal terdekat disekitar masyarakat hendaknya mampu menjadi inspirasi bagi berbagai daerah di Indonesia. Terlebih dalam suasana pandemi seperti saat ini, kreativitas dan juga kemauan untuk mempertahankan daya saing daerah haru tetap diperhatikan. Kabupaten Kulonprogo menjadi salah satu contoh baik dalam upaya pemanfaatan sumber daya lokal dan upaya menggerakkan potensi lokal demi terwujudnya kualitas dan kuantitas pembangunan yang adil dan merata.