Apa yang ada dalam pikiran kita jika mendengar kata ‘kebijakan publik’? Pemerintah, negara, birokrasi, elite politik? Istilah-istilah itulah yang seakan menjadi aforisma bagi masyarakat jika disumpalkan kata kebijakan publik. Lalu di mana salahnya? Bukan salah, tapi kebanyakan orang awam akan langsung menghindar, menjaga jarak, karena bagi mereka istilah-istilah itu terlanjur berkonotasi rumit, njilimet, membingungkan, dan mereka (atau mungkin juga kita) merasa bahwa itu suatu hal yang jauh dilangit, seperti awan yang mendatangkan hujan, tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak bakal bisa diapa-apakan.
Persepsi itu, bukan tanpa alasan. Karena awalnya, kebijakan (sebagai kata maupun proses) lahir dari kekuasaan. Dan dulu, kekuasaan adalah milik para raja, pemimpin agama, atau segala yang berhak menentukan arah masa depan suatu masyarakat/bangsa/kaum/negara. Sekarang, prinsip kebijakan tetaplah seperti itu, kebijakan merupakan sebuah cara yang digunakan untuk meramalkan masa depan yang baik dan juga tools untuk mencapainya, tetapi yang berhak untuk menentukan seperti apa masa depan yang baik bukan lagi merupakan otoritas dari satu orang atau suatu kelompok saja. Sebab terbukti bahwa, kemampuan dan pengetahuan merupakan suatu hal yang cair dan memancar keseluruh orang, sehingga masing-masing orang memiliki kepentingan, wawasan, dan impian akan masa depan yang baik menurut mereka.
Pemikiran seperti itu tidak terlepas dari kepercayaan bahwa demokrasi merupakan sistem terbaik yang dianggap tersedia saat ini. Apalagi pasca tahun 1990, negara-negara di dunia bergerak ke arah yang sama, yaitu demokrasi. Sehingga konsep tentang kebijakan-pun bergeser. Sebelumnya yang dikenal umum, adalah kebijakan yang beraliran Top-Down, sangat birokratis dan kaku. Tetapi sekarang konsep itu semakin ditinggalkan karena dianggap tidak ramah dan tidak populer (bukan berarti tidak lebih baik, efektif dan efisien) dan mulai diganti dengan kebijakan ber-arus Bottom-Up, entah pluralis atau deliberatif, dianggap lebih ramah dan populer untuk masa sekarang.
Peralihan konsep itu, harus diakui seperti menggoncang keilmuan administrasi negara, sebagai studi induk. Kebijakan publik yang dulunya berada di rahim administrasi negara perlahan mulai keluar meskipun tidak bisa dilepaskan dari administrasi negara. Dan administrasi negara pun dituntut untuk bertransformasi menjadi lebih up-date dengan perkembangan zaman, dan berubah menjadi administrai publik. Sehingga kebijakan publik tetaplah administrasi publik.
Kebijakan publik pun, secara proses, mengalami pergeseran. Jika dulu, di dalam proses kebijakan publik dibagi menjadi tiga bagian, yaitu; tahap formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan monitoring dan evaluasi kebijakan, dan ketiganya menjadi suatu tahap yang bergerak secara garis lurus. Sekarang ini, ketiganya berkelindan hebat. Tahapannya tidak harus statis seperti tadi, bisa bolak-balik, bisa juga saling mengisi. Seperti bikin kopi, jika dulu awalnya memasukkan kopi, kemudian gula, lalu diseduh air, sekarang bisa jadi tidak berurutan atau malah dimasukkan secara bersama, atau juga memakai kopi instan (tidak jelas mana kopi mana gula), terserah mana yang dianggap paling baik. Itulah demokrasi.
Selain itu, seperti yang sudah disinggung diatas, keterlibatan di dalam membuat kebijkakan, bukanlah milik otoritas tertentu. Meskipun yang memutuskan kebijakan publik tetaplah pemerintah sebagai pihak yang memegang wewenang, tetapi norma (baca: kepentingan) yang ada di dalamnya dapat dipengaruhi oleh siapapun. Setiap orang atau kelompok berhak untuk menyuarakan kepentingannya, sehingga di dalam studi kebijakan, diskursus sangat-lah penting. Sehingga, Michel Moran, mengatakan bahwa, pembuatan kebijakan sebagian besar adalah masalah persuasi. Sehingga siapa yang paling mampu mempersuasi, maka mereka akan menjadi pihak yang paling terwakili di dalam suatu kebijakan.
Maka, mengerti kebijakan untuk saat ini adalah hal yang sangat penting. Sebab kebijakan sudah berubah dari yang sebelumnya merupakan balok es yang tebal menjadi bubur yang kental, dan setiap orang bisa membuat, mempengaruhi dan menikmatinya. Setiap orang bisa mengadvokasi kebijakan, setiap orang bisa membuat gerakan sosial, yang tujuannya mempengaruhi kebijakan. Dan sebagai lembaga pendidikan, administrasi publik UNISA, memiliki tujuan untuk menciptakan mahasiswa-mahasiswa yang mampu mempengaruhi kebijakan untuk menjadi lebih baik.