Oleh Gerry Mahendra dosen Administrasi Publik Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta
Sumber : Kompasiana.com

Lebih dari satu tahun pandemi COVID 19 melanda Negara di berbagai belahan dunia, termasuk pula Indonesia. Sektor ekonomi perdagangan, pendidikan, hingga pariwisata merupakan bidang yang relatif sangat terdampak parah. 

Daya beli masyarakat menurun, aktivitas industri ekonomi melemah, hingga lesunya pertumbuhan ekonomi nasional menjadi bukti betapa pandemi ini menjadi momok yang sangat menakutkan bagi sektor ekonomi, selain tentu saja sangat mengancam kesiapan dan kemampuan pelayanan kesehatan di Negara kita. 

Titik terendah anjloknya sektor ekonomi nasional sebagai akibat dari pandemi COVID 19 terjadi pada kuartal II tahun 2020. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2020 mencapai minus 5,32% year on year (yoy).

Pertumbuhan negatif ini merupakan yang terendah sejak pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-1999 yang pada waktu itu tumbuh negatif 6,13% yoy. Kondisi titik terendah tersebut juga diikuti dengan penurunan konsumsi rumah tangga yang pada kuartal II-2020 tumbuh negatif 2,96% yoy. Selain konsumsi rumah tangga, aspek ekonomi lain yang juga turut menurun performanya adalah sektor investasi, yakni minus 8,61% yoy. 

Selanjutnya, konsumsi pemerintah juga masih menunjukkan tren negatif pada kuartal II-2020. Menurut BPS, konsumsi pemerintah tumbuh negatif 6,90% yoy. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada bidang ekspor dan impor barang jasa. Keduanya sama-sama terkontraksi masing-masing minus 11,66% yoy dan minus 16,96% yoy sebagai akibat melemahnya ekonomi dunia. Kondisi umum tersebut, menjadikan Indonesia mengalami resesi ekonomi terparah sejak tahun 1998.

Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan memberikan berbagai paket stimulus ekonomi bernilai triliuan rupiah yang dapat dimanfaatkan baik oleh pengusaha, pelaku UMKM, hingga masyarakat. 

Upaya tersebut setidaknya membuat pergerakan ekonomi nasional kembali bergairah. Meskipun masih belum bisa sepenuhnya lepas dari jurang resesi, sebagaimana rangkuman data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih negatif pada kuartal I-2021 (minus 0,74% yoy), namun setidaknya terlihat harapan dan tren positif dibandingkan dengan titik terendah kuartal II-2020. 

Momentum ini tentu tidak lepas dari upaya kebijakan stimulus ekonomi bagi seluruh pelaku usaha dan masyarakat, penerapan kehidupan new normal, serta upaya vaksinasi yang telah dilakukan pada penghujung tahun 2020 hingga saat ini. 

Menjaga Posisi Sebagai Sektor Vital Devisa Negara

Momentum positif pertumbuhan ekonomi nasional tersebut harus mampu ditangkap oleh para pelaku usaha agar mampu kembali menatap masa depan dan turut berkontribusi pada peningkatan ekonomi nasional. Dalam hal ini, pariwisata menjadi salah satu harapan utama guna mengawal tren positif tersebut. 

Seperti kita ketahui bersama, sektor pariwisata bak dua sisi mata uang. Sebelum pandemi, sektor pariwisata menjadi salah satu tumpuan utama bersama-sama dengan industri kelapa sawit, batu bara dan migas sebagai penyumbang devisa terbesar bagi Negara. Bahkan pada awal tahun 2020 lalu, sektor pariwisata dan ekonomi kreatif diharapkan menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia dengan nilai potensi devisa diproyeksikan mencapai USD44 miliar atau setara Rp616 triliun (asumsi kurs Rp14.000 per dolar AS). Namun apa daya, pandemi mengubah segala situasi yang telah direncanakan. 

Pada tahun 2020 justru menjadi titik nadir terendah sektor pariwisata, dimana sektor tersebut mengalami kerugian yang sangat besar. Data dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebutkan hingga akhir 2020 total kerugian sektor pariwisata akibat pandemi Covid-19 dibarengi kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar mencapai lebih dari Rp10 triliun.

Sadar akan posisinya sebagai salah satu sektor utama penyumbang devisa dan ekonomi nasional, sektor pariwisata mulai bangkit dan berbenah serta menyesuaikan dengan kebiasaan baru masyarakat. Upaya ini dibarengi dengan berbagai inovasi yang relevan guna meyakinkan masyarakat, terutama terkait dengan keamanan dan kenyamanan berwisata selama pandemi COVID 19. 

Pemerintah juga tidak tinggal diam, selain guyuran anggaran stimulus, melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif meluncurkan kebijakan strategis yang diharapkan mampu menjadi titik balik kebangkitan pariwisata nasional. Atas dasar tersebut, lahirlah kebijakan sertifikasi Cleanliness, Health, Safety, Environment Sustainability (CHSE) bagi destinasi wisata di seluruh Indonesia. 

Secara umum, kebijakan ini merupakan langkah pemerintah untuk memberikan sertifikat kepada Usaha Pariwisata, Destinasi Pariwisata, dan Produk Pariwisata lainnya serta memastikan penerapan protokol kesehatan era new normal yang berbasis pada Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan) sehingga muncul Trust (Kepercayaan) dari masyarakat ketika memutuskan untuk mengunjungi destinasi wisata. Dengan adanya kebijakan tersebut, diharapkan mampu menjadi akselerator bagi sektor wisata di Indonesia.

Pengembangan Inovasi Pariwisata Melalui Work From Village

Lahirnya kebijakan sertifikasi CHSE, selain diharapkan mampu menjadi payung hukum dalam upaya membangkitkan sektor pariwisata juga diharapkan menjadi inspirasi bagi para pelaku wisata untuk menciptakan inovasi dan modifikasi dalam kegiatan berwisata. 

Salah satu inovasi patut dicoba dan dikembangkan dalam masa pandemi COVID 19 ini adalah potensi wisata kerja dalam tajuk Work From Village (WFV). 

Mengapa konsep ini patut dipertimbangkan? sejak dimulainya pandemi COVID 19 pada awal tahun 2020, beberapa sektor pekerjaan mulai merubah pola kerja, yang sebelumnya mewajibkan kehadiran pegawai di kantor (work from office) berubah menjadi mewajibkan pegawai untuk bekerja dari rumah (work from home). 

Pola kerja ini pada awalnya mungkin disukai oleh beberapa orang, namun ketika berlangsung selama lebih dari satu tahun, muncul kejenuhan dan penurunan produktivitas kerja sebagai akibat lingkungan kerja yang dianggap monoton. Peluang ini yang seharusnya mampu ditangkap oleh para pelaku wisata, khususnya desa wisata di seluruh Indonesia untuk menawarkan konsep baru bekerja melalui destinasi work from village. Terlebih Indonesia memiliki banyak sekali desa wisata.

Bagaimana konsep ini dijalankan? Sebelumnya, Indonesia sudah memiliki banyak sekali desa wisata dan hal ini dapat menjadi modal utama. Tercatat pada tahun 2018 berdasarkan data Badan Statisik Potensi Desa, Indonesia memiliki jumlah total 7.275 desa wisata yang tersebar di seluruh provinsi. 

Adapun Jawa Timur kemudian Jawa Tengah menjadi provinsi dengan desa wisata terbanyak melebihi 1.000 lokasi. Jumlah tersebut diyakini semakin bertambah hingga saat ini. Selama masa pandemi COVID 19, desa wisata juga menjadi salah satu sektor yang terdampak cukup parah ditandai dengan penurunan jumlah kunjungan yang signifikan.

Dengan adanya pola kehidupan new normal, vaksinasi yang sedang berjalan, stimulus anggaran pariwisata, hingga kebijakan sertifikasi CHSE sudah cukup bagi desa wisata untuk berani memainkan peran utama sebagai penyedia fasilitas work from village. Desa wisata dianggap memiliki segalanya untuk menyediakan dan mengupayakan hal tersebut.

Mereka memiliki lokasi, budaya lokal yang menarik, keindahan pemandangan alam, kuliner tradisional, tempat singgah yang nyaman dan klasik, bahan baku penunjang wisata yang relatif terjangkau, hingga keramahan para penduduk desa. Modal tersebut sudah lebih dari cukup untuk dijadikan modal dalam menyediakan wisata kerja work from village. 

Konsepnya dikembalikan pada masing-masing desa wisata agar mampu menonjolkan kearifan lokal masing-masing sehingga menjadi daya tarik bagi instansi dan perusahaan yang ingin mencoba. Ketika konsep ini sudah matang dan siap untuk dieksekusi, maka kembali peran pemerintah harus muncul dan berpihak.

Pemerintah wajib memberikan ruang fasilitas promosi dan perlindungan kebijakan serta mengarahkan instansi untuk terlibat serta memanfaatkan destinasi tersebut. Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan instansi swasta guna mendukung program ini secara keseluruhan. 

Dengan adanya keberpihakan tersebut, diharapkan konsep wisata baru ini akan dapat menjadi pilot project, alternatif, dan solusi peningkatan ekonomi-sektor pariwisata lokal. 

Bayangkan saja jika konsep ini dapat dijalankan dan didukung oleh pemerintah dan swasta seutuhnya, pengguna jasa wisata ini akan mampu mendapatkan sudut pandang baru dalam bekerja selama masa pandemi yang diharapkan mampu mengikis rasa jenuh dan meningkatkan produktivitas. 

Sedangkan bagi desa dan masyarakatnya tentu akan mampu menggerakkan ekonomi lokal di masing-masing desa mulai dari perputaran uang pada penyediaan kuliner pendukung, persewaan lokasi kerja di desa, tour guide wisata lokal, keterlibatan sumber daya manusia di desa, serta kegiatan ekonomi lainnya yang terkait. 

Konsep ini, setelah diperkuat dengan penerapan CHSE dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif diyakini mampu menjadi solusi jalan tengah yang lebih murah, ramah, dan tepat sasaran bagi pemerintah-masyarakat desa serta menjadi jalan tengah bagi pemerintah-masyarakat desa dalam upaya memperbaiki guncangan ekonomi sebagai akibat dari pandemi COVID 19.

Artikel ini sudah dimuat di laman Kompasiana.com pada Selasa, 08 Juni 2021 10:12 WIB.