Sleman, 24 September 2025 – Program Studi Administrasi Publik Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta (Unisa) kembali menghadirkan kuliah pakar internasional pada Rabu, 24 September 2025 bertempat di Gedung Siti Moendjijah Unisa Yogyakarta. Kegiatan ini menghadirkan Dr. Dina Afrianty, Lecturer pada Thomas More Law School, Australian Catholic University sekaligus Co-founder Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN), sebagai narasumber utama.

Dalam sesi pengantar, Erni Saharuddin, S.Sos., MPA., dosen Administrasi Publik Unisa sekaligus penanggung jawab mata kuliah Pemberdayaan Masyarakat, menegaskan pentingnya kuliah pakar ini untuk memperkaya perspektif mahasiswa. “Kami berharap mahasiswa dapat memahami bahwa tata kelola publik bukan hanya berbicara soal efisiensi birokrasi, tetapi juga harus memperhatikan aspek inklusi dan kepedulian terhadap penyandang disabilitas serta kelompok rentan lainnya,” jelas Erni.

Kuliah berjudul “Inclusive Governance in Indonesia: Advancing Gender Equality and Disability Inclusion”, Dr. Dina mengajak peserta—mahasiswa dan dosen Administrasi Publik Unisa—untuk memahami pentingnya tata kelola inklusif yang memastikan seluruh warga masyarakat, tanpa terkecuali, dapat berpartisipasi secara penuh dan setara. “Inklusi berarti semua anggota masyarakat, tanpa memandang gender, disabilitas, agama, usia, etnisitas, atau karakteristik lainnya, dapat berpartisipasi secara penuh dan setara,” ujar Dr. Dina.

Lebih lanjut, Dr. Dina menjelaskan bahwa isu gender dan disabilitas bukan hanya persoalan sosial, melainkan persoalan tata kelola publik. Ia menyoroti bahwa partisipasi perempuan dalam angkatan kerja di Indonesia masih sekitar 50%, sementara representasi perempuan di DPR RI hanya 22,1%. Sementara itu, pada sisi penyandang disabilitas, tantangannya bahkan lebih besar. “Data ILO menunjukkan hanya 2% penyandang disabilitas yang bekerja di sektor formal. UNICEF juga mencatat 70% anak dengan disabilitas tidak bersekolah, dan representasi politiknya bahkan kurang dari 1%,” jelasnya.

Menurut Dr. Dina, hambatan terbesar terhadap kesetaraan datang dari diskriminasi berbasis gender dan disabilitas. Ia menyinggung masih kuatnya seksisme, norma budaya, interpretasi agama yang bias gender, hingga stigma ableisme yang memperlemah posisi kelompok rentan. “Untuk mewujudkan inclusive governance, kita harus membongkar hambatan struktural ini. Kita butuh kebijakan publik yang tidak hanya berbicara tentang kesetaraan, tetapi juga memastikan implementasinya nyata,” tegasnya.

Dalam konteks kebijakan, ia juga menekankan pentingnya kerangka hukum yang sudah ada—seperti UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, UU No. 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta National Action Plan for Persons with Disabilities (RANPD) 2021. Semua regulasi ini menurutnya harus didukung oleh kesadaran masyarakat dan keberanian birokrasi untuk menjalankan tata kelola inklusif.

Di akhir paparannya, Dr. Dina memberikan pesan khusus bagi calon administrator publik. “Mahasiswa Administrasi Publik adalah calon pengambil kebijakan masa depan. Kalian harus siap berpikir analitis, adaptif, dan punya sensitivitas gender serta disabilitas, agar bisa memastikan setiap kebijakan publik yang dihasilkan benar-benar inklusif,” pungkasnya.