Oleh Gerry Mahendra dosen Administrasi Publik Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta
Sumber: Detik.com

Tahun 2021 menyambut dengan penuh harap sekaligus tanda tanya, setelah sebelumnya kita melewati tahun 2020 penuh dengan kejutan, kekhawatiran, dan ketidakpastian yang melanda hampir seluruh belahan dunia. Apa yang terjadi pada tahun 2020 memang di luar prediksi hampir semua pihak. Isu dan prediksi meledaknya perang dunia ke-3 yang sempat muncul dan dikhawatirkan oleh banyak pihak pada awal tahun tiba-tiba lenyap dan digantikan oleh kenyataan bahwa manusia akhirnya mendadak harus “berperang” dengan musuh tidak kasat mata bernama virus COVID-19 yang dampak kesehatan, sosial, dan ekonominya dirasa sangat memberatkan.

Di Indonesia, dampak dari wabah virus ini dirasakan pada hampir semua aspek dasar kehidupan manusia. Pada aspek kesehatan, COVID-19 memperparah problem klasik kesehatan nasional terkait dengan kurangnya ketersediaan fasilitas kesehatan (tempat tidur dan sarana penunjang rumah sakit lainnya). Data menyebutkan bahwa rasio jumlah tempat tidur rumah sakit yang dimiliki Indonesia hanya 1,2 per 1000 penduduk. Jumlah ini masih kalah jauh dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Sebut saja India yang memiliki rasio 2,7 per 1.000, China 4,3 per 1.000 dan Jepang 13 per 1.000.

Masalah ini masih ditambah dengan terbatasnya jumlah dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Kondisi ini tentu sangat tidak ideal dalam upaya menghadapi pandemi. Bahkan, selama pandemi berlangsung hingga Desember 2020 lalu, setidaknya 342 tenaga kesehatan gugur akibat terinfeksi COVID-19.

Pada aspek sosial, 2020 menjadi tahun penundaan dan pembatalan hampir seluruh agenda yang melibatkan kerumunan massa. Tidak ada event nasional dan internasional, tidak ada peluncuran film baru, tidak ada konser musik, dan berbagai acara lainnya. Penundaan dan pembatalan berbagai kegiatan tersebut pada akhirnya turut berdampak pada kondisi ekonomi nasional yang pada akhirnya terjun bebas. Aspek ekonomi nasional pada akhirnya menjadi sektor yang paling “babak belur” dihantam pandemi COVID-19 sebagai dampak dari dibatasinya mobilitas dan interaksi antarmanusia guna menekan penyebaran virus.

Kapasitas produksi menurun drastis, PHK massal, hingga menurunnya daya beli nasional menjadikan ekonomi Indonesia 2020 tampak suram. Data terbaru mencatat bahwa pada kuartal III produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih minus 3,49 persen dan masih berada pada status resesi ekonomi.

Kompilasi keadaan di atas memang sudah dan sedang terjadi, tidak terelakkan, serta tidak terbantahkan. Pemerintah dalam hal ini pun tidak tinggal diam; berbagai macam upaya sudah dilakukan terkait dengan peningkatan kapasitas, kualitas, dan kuantitas pada bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi. Namun sayangnya, upaya penguatan berbagai sektor utama melalui berbagai kebijakan strategis sepanjang 2020 kenyataannya masih terdapat beberapa hambatan dan kekurangan mendasar.

Pada bidang kesehatan, keterlambatan menutup akses dari luar negeri pada awal 2020, inkonsistensi kebijakan terutama mengenai syarat aman bepergian dan mobilitas manusia jelang hari raya, hingga naik turunnya kemampuan tracing kasus menjadi sedikit dari sekian banyak kebijakan kesehatan yang disorot oleh publik.

Pada bidang sosial ekonomi, kebijakan bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ketat maupun transisi, hingga Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebenarnya sudah dirancang secara baik pada tataran rumusan kebijakan. Namun, jika dilihat pada tataran implementasi masih terlihat berbagai kekurangan dan kecurangan yang tidak terelakkan.

Kekurangan sumber daya dan lemahnya koordinasi dalam implementasi PSBB; kendala administrasi, birokrasi kaku dan panjangnya alur verifikasi yang menyebabkan masih rendahnya capaian realisasi program-program dalam lingkup kebijakan PEN; hingga kasus korupsi dana Bansos yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial membuat upaya pemulihan daya ekonomi masyarakat dan kondisi ekonomi nasional menjadi tersendat-sendat.

Kekurangan dan kecurangan yang muncul secara gamblang tersebut tentu tidak boleh terus dibiarkan. Harus ada perubahan signifikan dalam upaya menghadapi pandemi COVID-19 yang sampai detik ini belum menunjukkan tanda-tanda mereda.

Momentum Tata Ulang

Tahun Baru 2021 sudah selayaknya dapat dijadikan momentum perbaikan dan kebangkitan dalam menghadapi pandemi melalui perubahan dan konsistensi sikap. Menata Indonesia pada 2021 kemudian dapat menjadi tajuk dan realisasi yang paling relevan. Menata Indonesia 2021 dapat dijadikan momentum introspeksi, evaluasi, dan titik balik untuk bersama-sama lebih siap menghadapi pandemi COVID-19 dalam berbagai aspek kehidupan.

Pergantian Menteri Kesehatan harusnya mampu dijadikan momentum perubahan signifikan, terutama dalam upaya vaksinasi. Vaksinasi COVID-19, sebagai alternatif jangka panjang dalam menghadapi pandemi harus mampu dikawal dengan baik oleh seluruh stakeholders, baik dalam proses persiapan, pengadaan, distribusi hingga pelaksanaan. Kementerian Kesehatan memegang peranan sangat penting guna memastikan vaksinasi massal ini dapat berlangsung tepat sasaran.

Masyarakat Indonesia, yang nantinya menjadi salah satu pihak penerima vaksin juga memiliki kewajiban untuk terus mengawal proses persiapan vaksinasi, terutama mengenai tingkat efektivitas vaksin secara ilmiah.

Program bansos yang memunculkan banyak masalah pendataan pada tataran implementasi, bahkan sempat pula menjadi “bancakan” korupsi pada 2020 kiranya sudah cukup untuk dijadikan bahan evaluasi dan perubahan signifikan. Updating data, perubahan bentuk bantuan (tunai), dan proses pengawasan ketat menjadi harga mati yang harus diimplementasikan apabila menginginkan kebijakan tersebut lebih tepat sasaran.

Tri Rismaharini yang ditunjuk sebagai Mensos baru memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar guna memastikan tiga perbaikan tersebut dijalankan dengan penuh komitmen. Di sisi lain, masyarakat sebagai penerima bantuan sudah selayaknya terus diberikan kemudahan dalam upaya mengakses bantuan dari pemerintah, sembari terus mengawasi prosesnya.

Upaya perlindungan terhadap pengusaha dan tenaga kerja pada berbagai industri Tanah Air sudah selayaknya dapat kembali ditata ulang agar dampak pandemi tidak semakin dalam menggerus eksistensi pelaku usaha. Program PEN yang selama ini sudah dilakukan harus semakin digalakkan merata, baik untuk pelaku industri besar hingga mikro.

Kombinasi upaya peningkatan daya beli masyarakat melalui program bansos dan perlindungan serta penguatan pelaku usaha diharapkan dapat menjadi titik balik kebangkitan ekonomi nasional. Akselerasi perbaikan tiga aspek bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi di atas sangat mungkin untuk diwujudkan pada 2021 apabila pemerintah dan masyarakat mampu saling bersinergi mencapai tujuan.

Tajuk rencana ini setidaknya relevan dengan pernyataan dari Chandler dan Plano (1988) yang menjelaskan bahwa kebijakan dan tindakan negara akan berdampak positif apabila pemanfaatan strategis terhadap sumber daya sumber daya yang ada digunakan untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.

Respons yang tepat dan konsistensi kebijakan dari Presiden beserta jajaran Menteri, pengawasan maksimal dan profesional dari KPK, BPK, Ombudsman, dan lembaga pengawas lainnya, hingga ketepatan sasaran implementasi kebijakan menjadi kunci guna mencapai tujuan kebangkitan nasional pada 2021.

Pada akhirnya, Indonesia memang tidak bisa mengelak dari situasi sulit sepanjang 2020, namun potensi dan harapan untuk keluar dari situasi tersebut bukan hanya menjadi angan-angan belaka. Selama kebaikan, keberpihakan, dan dukungan dari pemerintah serta masyarakat mampu tetap terjaga, maka optimisme kebangkitan akan tetap terus menggema di bumi kita tercinta.

Artikel ini sudah dimuat di laman Detik.com pada Rabu, 06 Jan 2021 10:56 WIB.