Oleh: Hidayatul Fajri
Kita menghancurkan planet kita sendiri.
Kitalah yang melakukannya, dan kita sedang melakukannya sekarang
(Josten Gaarder, “Dunia Anna”)
Pendahuluan

November tahun 2014, sebuah film Box Office Hollywood membuat para pencinta film dunia tercengang dengan plot, ide, unsur, drama, yang ditampilkan oleh film tersebut. Disertai dengan teori-teori fisika mutakhir, tentang Blackhole (lubang hitam) dan Wormhole (lubang cacing) dan dilengkapi dengan teori-teori tentang fisika kuantum, dimensi, gravitasi, dan teori-teori rumit lainnya, membuat film tersebut seperti berjalan dipinggiran peradaban manusia. Interstellar, memang hanya sebuah film ber-genre Sci-fi, tetapi arahan yang epic dari sang sutradara Christoper Nolan – yang memang jago dalam hal logika pikiran, membuat sajian dari film tersebut mencengangkan, membuat kita berfikir tentang banyak hal dan membuat banyak perdebatan baik dikalangan pencinta film, scientist dan juga masyarakat awam – bahkan yang terakhir jauh lebih heboh dengan teori-teori mereka tentang asal alam semesta yang memang “asal”.

Tentu saja Penulis tidak akan membahas tentang film tersebut secara filmtologi, atau dramatologi. Atau membahas teori-teori scient yang ada di dalamnya, atau berfilsafat dengan film tersebut – karena sepertinya bagi yang lemah imannya film tersebut lumayan menguji mereka. Sehingga pertanyaan yang muncul adalah, Lantas apa kaitan antara film tersebut dengan bencana?

Plot yang menjadi tema awal dari film tersebut adalah ketika bumi sudah kehilangan daya dukung-nya untuk menunjang kehidupan diatas-nya. Ketika satu persatu unsur hara di tanah menjadi hilang dan jenis tumbuhan yang bisa hidup dari-nya semakin sedikit. Demikan juga hal nya dengan udara yang semakin tidak cocok dengan pola hidup manusia, sehingga keberlangsungan manusia menjadi terancam. Meskipun bencana yang “diperspektifkan” oleh Hollywood terkesan mengada-ada untuk saat sekarang. Tetapi banyaknya bencana alam – terutama yang diakibatkan oleh perubahan alam, seperti; badai Katherina. badai haiyan, kekeringan di tanduk Afrika, atau cuaca ekstrim beberapa tahun belakangan. Membuat kesadaran sebagian orang akan pentingnya menjaga alam.

Issue yang sangat santer di dunia sekarang, yaitu tentang Global warming (pemanasan global) dan Climate change (perubahan iklim). Berbicara mengenai itu, berarti kita berbicara mengenai kemungkinan bencana di masa depan, bukan masa sekarang ataupun masa lalu sehingga kita bisa mendapat data apa yang harus dilakukan – tidak. Ini adalah bencana masa depan, dan manusia tidak mengetahui apa yang mesti dilakukan secara tepat,, sehingga manusia dalam hal ini berada di posisi yang meraba-raba. Disatu sisi kita menyadari pentingnya lingkungan sedangkan disisi lain kita tidak mau kehilangan sumber ekonomi dengan “mengabaikan” lingkungan dari  proses ekonomi.

Sehingga pertanyaan besar yang belum terjawab yaitu, Apakah lingkungan, entah itu; lapisan ozon, udara, hutan, air – merupakan kepemilikan bersama dan menjadi tangggung jawab bersama, sehingga tidak mengenal batas administrasi, baik itu negara atau pemerintahan regional dibawah negara atau masyarakat setempat yang bersentuhan langsung dengan sumber alam yang “berpengaruh” tersebut, misalnya masyarakat disekitar hutan? Kalau iya, siapa yang berhak menerjemahkan dan memberi pengertian terhadap keadaan-keadaan tersebut – entah itu batas, bencana, kewenangan, atau dan lain-lainnya? Atau itu hanya suatu politik hegemoni dari beberapa pihak yang menyebabkan kelatahan dari pihak-pihak lainnya, karena tidak ada ruang untuk ikut bersuara? dan seberapa besar kesadaran kita sebagai individu, komunitas, negara dan masyarakat global akan hal itu?

 

Dillema Karbon

Dalam banyak hal, kita (manusia) saat ini hidup dalam kurun waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di satu sisi kita adalah sebagian dari sebuah generasi yang berhasil mengeksplorasi alam semesta dan memetakan genom manusia, tapi di sisi lain kita adalah generasi pertama yang melakukan kerusakan alam dengan serius. Kita menyaksikan bagaimana tindakan manusia mengikis sumber daya alam dan mengakibatkan rusaknya habitat. Kita mengubah alam sedemikian rupa hingga kita bisa menyebut masa hidup kita sebagai sebuah zaman geologi baru, yaitu; Antroposen[1].

Pada tumbuhan dan hewan, didalam lautan dan kandungan minyak, batu bara, dan gas tersimpan kandungan karbon yang siap untuk teroksidasi dan dilepaskan ke atmosfir. Di planet mati seperti Venus, kandungan CO2 mendominasi atmosfirnya, dan kondisi di Bumi akan menjadi seperti itu bila proses-proses alam tidak mempertahankan kesimbangannya. Namun, sejak akhir tahun 1700-an cadangan bahan bakar fosil telah menggoda kita bagaikan jin dalam lampu Aladin, yang berkata;”Bebaskan saya dari lampu ini, maka kalian akan mendapatkan keuntungan yang belum pernah kalian rasakan!”, begitu bisik sang karbon, dan  manusia pun menyerah pada godaan itu. Dan sekarang, manusia malah memaksa jin (karbon) tersebut untuk kembali masuk ke dalam lampu wasiat. Tentu bukan lagi perkara mudah, karena banyak yang sudah terlena dengan keuntungan dari penggunaan minyak bumi. Bayangkan 1 barrel minyak bumi (1 barrel = 159 Liter) menghasilkan tenaga sama dengan 10.000 jam manusia bekerja, belum lagi dollar yang dihasilkan dari jual beli minyak bumi, betapa banyak negara yang dulu miskin mendadak kaya setelah ditemukan tambang minyak bumi.

Lantas apa yang telah dilakukan oleh manusia sebagai masyarakat global (lembaga-lembaga global) untuk membatasi jumlah karbon yang ada di atmosfer?

 

Perubahan Iklim dan Penjualan Emisi

Perubahan iklim dan pemanasan global merupakan ancaman besar bagi keanekaragaman hayati terlebih pada abad sekarang dan tahun-tahun mendatang (Peters & Lovejoy 1992). Sehubungan Dengan Itu, upaya untuk mengurangi pemanasan global dengan mengurangi emisi CO2 dan gas rumah kaca  adalah dengan meningkatkan serapan karbon oleh vegetasi yang ada di hutan hujan tropis. Protokol Kyoto – perjanjian internasional dalam proses negosiasi berkepanjangan itu – menawarkan kesempatan negara untuk menerima kredit untuk mengurangi emisi atau meningkatkan penyerapan karbon (Schulze et al. 2000). Negara-negara dapat berkomitmen untuk pengurangan emisi dengan cara aforestasi atau reforestasi. Meskipun Protokol Kyoto memiliki potensi manfaat konservasi, seperti penciptaan pasar untuk pelestarian hutan (Bonnie et al, 2000;. Kremen et al. 2000), penghitungan karbon juga menimbulkan resiko biologi. Negara-negara bisa menerima kredit, misalnya, dengan penanaman pohon di padang rumput alami. Dan, karena pembelian tidak dimulai sampai tahun 2008, sebuah negara berpotensi mengganti hutan primer yag ada sekarang dengan perkebunan yang menghasilkan keuntungan lebih besar (sawit, karet, kopi, dll).

Perdebatan tentang membatasi perubahan iklim dan bagaimana melakukannya, tidak secara otomatis berhenti dengan penciptaan protokol, dan semakin lebih rumit ketika menyentuh pada isu-isu yang lebih luas berurusan dengan aturan atau prosedur dan modalitas untuk menerapkannya (Murdiyarso, 2004). Keputusan Amerika Serikat untuk menarik diri dari Protokol Kyoto Maret 2001 – sebagai bukti bahwa hal itu sulit untuk  dirumuskan – menimbulkan stagnasi seluruh proses negosiasi, terutama karena mereka merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar (hampir lima gigaton karbon dioksida pada tahun 1990, atau 36 persen dari emisi global). Meskipun pada akhirnya Amerika Serikat ikut menandantangani perjanjian tentang emisi ini di putaran protocol selanjutnya – setelah desakan dari negara-negara lain dan aktivis lingkungan tentunya, tetapi kongres Amerika Serikat sampai sekarang belum meratifikasi untuk dijadikan undang-undang di dalam negeri (Stiglitz, 2007)

Tentu kita akan mencibir dengan apa yang dilakukan oleh “negara superior” ini. Dimana di dalam kampanye-nya – terutama di film-film mereka – selalu menjadi penyelamat akhir dari bencana di bumi. Di Film Interstellar yang telah kita ceritakan tadi, kita mungkin akan “memuja” Amerika Serikat karena mereka hadir sebagai pahlawan, tetapi kenyataannya, mereka lah yang menjadi “bandit” dari semuanya. Penghasil emisi karbon terbesar yang berlagak menjadi “Batman”. Ini memperlihatkan bahwa, perspektif global tentang global warming atau climate change yang di gadang-gadang akan menjadi bahaya atau bencana di masa depan belum mendapatkan pengertian yang sama di dalam perspektif global. Lalu bagaimana dengan posisi negara Indonesia sendiri sebagai salah satu negara berkembang – karakteristik negara berkembang biasanya selalu dirugikan dari isu-isu global – dan sebagai pemilik hutan hujan tropis terbesar kedua setelah Brasil di dalam hal ini?

 

Indonesia dan Emisi

Setelah dari Protokol Kyoto, sebagai “anak yang baik” pemerintah Indonesia segera mengadopsinya pada tahun 1998 dan mulai mempersiapkan kegiatan peningkatan kapasitas yang diperlukan dengan menjadi tuan rumah berbagai proyek, termasuk tahap uji coba “Kegiatan yang Diimplementasikan Bersama”, rencana aksi nasional, penguatan kelembagaan, penilaian teknologi, penelitian strategi nasional, dan penyelesaian Nasional Pertama Komunikasi. Ini didukung oleh masyarakat multilateral dan bilateral penyandang dana-termasuk Bank Dunia, Program Pembangunan PBB (UNDP), GTZ, AusAID, Jepang, dan  Badan Kerjasama Internasional (JICA) -dan studi kelayakan yang dilakukan oleh perusahaan swasta (Kementerian Lingkungan Hidup 2002, 2003).

Setelah melalui proses yang panjang pengembangan kapasitas, Indonesia menghadapi masa kritis dalam meratifikasi protokol. Menyadari jumlah pelajaran, ada lebih banyak alasan untuk membuatnya lebih daripada memecahkan kebuntuan Protokol Kyoto. Sejumlah isu yang berkaitan dengan kapasitas lokal yang belum beres, karena kewenangan dibagi antara pemerintah pusat dan lokal. Sampai pada tahap diperkenalkannya REDD+ ((Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “Pengurangan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan.

 

Hutan Indonesia sebagai Penyelamat Dunia?

Skema REDD menjadi salah satu topik favorit karena menurut studi yang dilakukan oleh Stern (2007), cara mengimplementasikan gagasan REDD jauh lebih murah dibandingkan dengan upaya meng”hijaukan” industri yang boros bahan bakar fosil di negara-negara maju. Karena itu, banyak pihak dari negara maju berlomba-lomba menginvestasikan sumber dayanya dalam mencari konsep final skema REDD. Tujuan mereka adalah untuk mengalihkan tanggung jawab pengurangan emisi domestik negara maju ke proyek-proyek REDD yang murah di negara-negara berkembang. Untuk menyokong gagasan ini, maka dari segi pendanaan REDD diusulkan menggunakan skema pasar. Artinya, agar REDD bisa dijalankan, pasar lah yang akan menopang pendanaannya melalui transaksi jual beli sertifikat yang dihasilkan dari pelaksanaan REDD. Hingga saat ini, konsep REDD belum final, namun berdasarkan hasil COP 13 di Bali yang diperkuat dalam COP 14 di Poznan Polandia, setidaknya elemen REDD mencakup beberapa aspek yakni deforestasi, degradasi, konservasi, sustainable management of forest dan perluasan stok karbon (rumahiklim.org).

Indonesia merupakan negara pertama yang memperkenalkan kerangka hukum REDD+ nasional, termasuk tiga peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan tepat sebelum dilaksanakannya Konferensi Perubahan Iklim (COP-15) di Copenhagen pada bulan Desember 2009:

  • Permenhut No. P.68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan;
  • Permenhut No. P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD); dan
  • Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/ atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung.

 

Peraturan-peraturan ini memuat banyak isu, seperti mekanisme untuk mengurangi emisi karbon dari degradasi hutan dan deforestasi, kerangka kerja untuk mengeluarkan izin pemanfaatan karbon pada hutan produksi dan hutan lindung, mekanisme koordinasi REDD+, dan tata cara penerapan dan pelaksanaan proyek-proyek percontohan (pilot) REDD+. Setelah peraturan-peraturan awal ini, aturan-aturan berikutnya yang dibuat meliputi Keputusan Presiden untuk membentuk Satgas REDD+ (PP No. 25 Tahun 2011), dan peraturan-peraturan tentang merubah fungsi peruntukan kawasan hutan (PP No. 10 Tahun 2010 yang diganti oleh PP No. 60 Tahun 2012) dan tentang penggunaan hutan untuk kegiatan-kegiatan pembangunan yang tidak terkait dengan kehutanan, misalnya untuk pertambangan (PP No. 24 Tahun 2010). Peraturan REDD+ terbaru yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan, pada bulan April 2012, adalah Permenhut No. P.20/Menhut-II/2012, tentang ‘Penyelenggaraan Karbon Hutan’. Peraturan ini menggantikan tata cara memperoleh izin untuk demonstration activities REDD+ dari peraturan-peraturan tahun 2008 dan 2009, yang disebutkan di atas.

Walaupun Indonesia sudah membuat kemajuan dalam hal mengatur kegiatan REDD+ melalui serangkaian perundang-undangan legislatif dan eksekutif, perundangundangan ini seringkali berisi ketetapan-ketetapan yang tumpang tindih dan/atau ketetapan-ketetapan yang bertentangan dan tidak menyebutkan dengan tegas siapa yang berhak atas kredit karbon (Huber, 2013). Namun, jika karbon dianggap sebagai sumber daya alam yang terkandung dalam tanah atau hutan, ada praduga bahwa hak karbon mengikuti hak kepemilikan lahan dan hutan. Di Indonesia, hal ini berarti jika Negara tidak memberikan hak penggunaan hutan Negara (seperti konsesi, izin atau otorisasi) atau hutan tersebut merupakan hutan pribadi atau hutan masyarakat, maka hak karbon hutan Negara dianggap dimiliki dan dikendalikan oleh Negara. Dan ini menyebabkan keprihatinan tersendiri, karena seringkali di dalam kebijakanya tidak ada perlibatan terhadap masyarakat yang berada disekitar hutan. Ketika negara datang dan melakukan konservasi terhadap hutan dengan alasan untuk melindungi hutan, masyarakat kehilangan akses ekonomi terhadap hutan yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka.

Penguasaan Hutan oleh negara dan Pemiskinan Masyarakat

Penguasaan lahan dan hutan di Indonesia ditandai dengan kontrol resmi atas lahan dan hutan oleh negara, dengan jaminan keamanan penguasaan (tenure security) yang lemah bagi masyarakat setempat dan masyarakat adat. Walaupun pada prinsipnya hak adat atas hutan diakui, pada praktiknya hak ini diabaikan demi kepentingan negara (USAID, 2010). Hak atas karbon dan pengaturan pembagian manfaat belum diklarifikasi, sehingga mengakibatkan ketidakpastian dalam kegiatan-kegiatan REDD+ baik kegiatan yang sedang dilaksanakan ataupun kegiatan yang sedang dikembangkan, dan tentang kapan kerangka hukum untuk mengatasi persoalan-persoalan ini akan diimplementasikan.

Hal ini dapat menjelaskan bahwa penguasaan negara terhadap hutan meningkatkan kemiskinan masyarakat, hal ini diakibatkan oleh tidak diakuinya kepemilikan masyarakat karena hutan dikuasai oleh negara (Bolaane, 2004; Hitchcock & Biesele, 2004; Magole & Magole, 2007 dan 2009, Maryudi, 2011) Disisi lain, pemerintah tidak mendistribusikan akses ke sumber daya penting lainnya sebagai mata pencaharian bagi masyarakat setempat (Peters, 1994). Meskipun dengan alasan bahwa Studi empiris dari Sumberdaya Bersama memperlihatkan adanya  penurunan lingkungan dan peran dari sumber daya masyarakat komunal sehingga peran yang semakin agresif harus diambil oleh negara-negara, dibantu secara finansial dan konseptual oleh donor eksternal seperti Bank Dunia, dalam mempromosikan kebijakan yang dirancang untuk mengkonversi sistem kepemilikan dari kepemilikan oleh masyarakat komunal menjadi kepemilikan swasta dan negara (Magole, 2009). Juga anggapan bahwa Masyarakat lokal biasanya tidak dapat mengendalikan faktor faktor yang dapaat memgaruhi kemampuan Sistem sumber daya hutan untuk menghasilkan keuntungan dan permintaan pasar dan sebagainya (Husain dan Bhattacharya 2004). Sehingga tidak jarang, Tanah yang diandalkan oleh masyarakat lokal untuk melanjutkan kehidupannya kemudia dianggap tak berpenghuni dan dikelola dan kemudian dijadikan hutan negara oleh pemerintah (Hitchcock, 1985b).

Padahal masyarakat memiliki kearifan lokalnya sendiri didalam pengelolaan hutan (Hidayat, 2011). Yang sebenarnya menjadi faktor kerusakan lingkungan adalah memarjinalkan masyarakat lokal dari penggunaan sumber daya hutan secara langsung, dengan memberikan manfaat finansial yang terbatas  kepada mereka. Meskipun proses ini tidak menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya hutan, tetapi berimplikasi terhadap melanggengkan kemiskinan sekaligus meningkatkan potensi konflik (DeMotts et,al., 2009).

Dalam hal pengalihfungsian hutan menjadi hutan negara, masyarakat yang berada disekitar hutan sangat dirugikan. Penjualan emisi karbon (REDD+) sebagai timbal balik atas kerugian yang mereka tanggung akibat dibatasinya akses mereka untuk mengambil manfaat ekonomi bukanlah solusi yang tepat. Merugikan masyarakat miskin di sekitar hutan demi negara-negara industry menimbulkan kecurigaan dan mempertanyakan rasa keadilan.

 

Solusi Alternatif

Mencari “bumi alternative” seperti di film Interstellar jelas merupakan solusi yang mengada-ngada – sekurangnya untuk saat ini, entah ratusan tahun yang akan datang. Lantas apa yang dapat menjadi solusi? Mengharapkannya di tingkat global tentu perkara yang sangat sulit, sebab masing-masing negara atau kelompok kerap datang dengan kepentingannya sendiri-sendiri. Mengharapkan negara dengan birokrasinya untuk hadir hanya akan menambah kekecewaan. Lantas apa solusi yang mungkin untuk itu?

Jostein Gaarder dalam novelnya yang berjudul Anna. En fable om klodens klima og miljo yang kemudian diterjemahkan di ke dalam bahasa Indonesia “Dunia Anna” (2014) memberikan tawaran ide yang patut untuk dipertimbangkan. Gaarder mengatakan bahwa Bumi sebagai planet yang sudah “ringkih” tidak mungkin menggantungkan harapannya kepada kesamaan persepsi global ataupun negara yang bahkan “batas administrasinya tak terlihat dari luar angkasa” sebagai penyelamat kehidupan bumi dan segala kehidupan yang ada di dalamnya melainkan kepada manusia sebagai komunitas.

Pelibatan manusia secara individu dan kelompok harus di lakukan, karena manusia mungkin adalah satu-satunya makhluk hidup di seluruh jagad raya ini yang memiliki kesadaran universal. Jadi menjaga kelestarian sumber kehidupan di planet ini bukan hanya sebuah kewajiban global. Itu juga sebuah kewajiban kosmik. Untuk itu, kita perlu melakukan sebuah pergeseran cara berpikir secara besar-besaran seperti yang dilakukan yang oleh Copernicus. Dalam pandangan kita sekarang, tentu saja gila kalau percaya bahwa Bumi adalah pusat dari alam semesta dan seluruh benda langit lainnya berputar mengelilingi planet bumi. Namun, apakah tidak sama gilanya hidup dengan cara seakan-akan kita memiliki beberapa bumi untuk dihambur-hamburkan dan bukan yang satu-satunya ini yang harus kita bagi bersama.

Daripada memikirkan bentuk seperti apa local wisdom suatu masyarakat, yang entah ada atau tidak di masyarakat modern sekarang – seringkali kita mengklaim itu suatu local wisdom padahal tak lebih dari suatu bentuk hegemoni dari kebijakan pemerintah – penulis lebih setuju dengan bentuk community based oriented dengan mempertimbangkan bahwa setiap usaha untuk menyelamatkan manusia dan bumi haruslah memikirkan sifat dasar manusia yang berupa makhluk individualistic, memikirkan diri sendiri, dan suka bermain-main (Gaarder, 2013).

Menjadikan kepedulian individu manusia terhadap lingkungan layaknya kepedulian mereka terhadap klub sepakbola kesayangan mereka, atau film kesukaan mereka bukanlah suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Jika ingin serius, yang dperlukan hanyalah menggeser sebagian dari fokus orang-orang pada hasil pertandingan olahraga, gossip selebriti, dan apa yang dibilang “seni” dan “budaya” ke masalah dunia, ke lingkungan hidup, dan sejumlah spesies dan fauna yang terancam punah. Apalagi dengan media sosial yang menjamur, sangat mudah untuk mengkapitalisasi isu lingkungan di tengah para netizen. Itulah menurut penulis yang perlu dilakukan saat sekarang, berpikir “kuno” dengan masih tersekat pada wilayah administrasi dengan berharap negara dengan birokrasinya akan menjadi penyelamat tentu akan menyusahkan karena sangat jarang mereka hadir sebagai messiah. Yang diperlukan adalah fleksibelitas kita didalam menjaring partisipasi masyarakat, menyadari arti mereka sebagai makhluk individu, dan komunitas atas kesamaan hobi dan kesenangan terhadap lingkungan (tentu dengan mengalihkan fokus mereka terhadap hal-hal yang sudah dibahas diatas) dengan memanfaatkan media yang up to date tentunya.

 

 

[1] Masa atau zaman yang didefinisikan oleh dampak luar biasa manusia terhadap planet bumi.